Fransisca Fanggidaej, Perempuan di Panggung Solidaritas Internasional Antikolonial

Pada 1995, ketika saya berangkat untuk mengikuti lokakarya di Belanda, ada pesan penting dari ayahku: ”Di Amsterdam, kamu harus menemui Tante Fransisca Fanggidaej, Om Cipto Munandar, dan Hersri Setiawan.” Saya hanya mengenal Hersri, sedangkan nama Fransisca dan Cipto belum pernah saya dengar sebelumnya. Ayahku hanya mengatakan bahwa Fransisca tokoh penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Sebagai lulusan jurusan sejarah dari Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, saya belum pernah mendengar dan membaca nama Fransisca Fanggidaej dalam buku sejarah Indonesia. Menjelang musim gugur 1995, diantar Hersri, saya berkunjung pertama kali ke apartemen Fransisca, di sebuah kompleks apartemen yang diperuntukkan untuk para migran yang mencari suaka politik (asylum) di Belanda. Fransisca tinggal seorang diri sejak 1985, di lantai 6, di salah satu blok apartemen di daerah Bijlmer. Saya ingat ketika Tante Sisca –kemudian saya memanggilnya, menyambut kami dengan penuh kehangatan. Wajahnya yang cerah di usia 70 tahun saat itu, berambut pendek putih, dan suaranya lantang. “Oh, aku kenal baik ayahmu. Kami sering berdebat tentang perjuangan dan politik Indonesia,” itulah kalimat perkenalan saat ia menyambut saya sambil memeluk erat, kemudian disusul dengan sapaannya, “Ayo cerita, bagaimana situasi dan kondisi politik Indonesia.” Mengapa Fransisca Fanggidaej penting dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia, khususnya gerakan perempuan? Pada 1947, Fransisca menghadiri Kongres International Union of Students (IUS) dan World Federation of Democratic Youths (WFDY), yakni gabungan pemuda demokratik sedunia di Praha, Cekoslowakia. Sebelum ke Praha, Fransisca bersama Suripno, tokoh pemuda dan mahasiswa yang aktif di Perhimpunan Indonesia di Belanda, akan melakukan propaganda perang kemerdekaan dan kampanye aksi setiakawan melawan Belanda, fasisme Jepang dan Sekutu, dengan semboyan: Stop The War in Indonesia. Kongres IUS menyerukan solidaritas sesama rakyat yang berjuang untuk kemerdekaan menemukan fondasinya. Sepulang dari lawatan ke Eropa, Fransisca mendapat tugas dari Badan Kongres Pemuda Republik Indonesia untuk menggalang solidaritas internasional mencari bantuan obat-obatan dan dana perjuangan untuk melawan kolonialisme. Ia berkeliling ke tiga negara Eropa Timur yaitu Yugoslavia, Cekoslowakia, dan Bulgaria, kemudian ke Inggris. Di London, Fransisca berhasil menggalang solidaritas mahasiswa Inggris yang tergabung dalam British National Union of Student untuk melakukan demonstrasi mendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia, dan mengutuk agresi militer Belanda yang berusaha menjajah kembali Indonesia. Dari Inggris, Fransisca lalu ditunjuk untuk mempersiapkan Konferensi Pemuda Asia Tenggara (Southeast Asian Youth’s and Student Conference) yang akan dilangsungkan di Kalkuta, India. Kalkuta dipilih sebagai tempat konferensi dunia melawan kolonialisme karena negara-negara di Asia Tenggara masih bergolak dalam perjuangan bersenjata. Konferensi bertema menggalang solidaritas untuk perjuangan kemerdekaan bangsa-bangsa terjajah. Semangat solidaritas seluruh peserta menjadikan konferensi ini mendapat dukungan dari seluruh dunia. Indonesia mendapat peranan penting, karena Indonesia negara pertama sesudah Perang Dunia II yang berhasil memerdekaan diri dari belenggu penjajahan. Sebagai ketua delegasi Indonesia dan bertanggung jawab untuk menyampaikan pidato saat pembukaan konferensi, isi pidato Fransisca menggelorakan semangat revolusi pemuda Indonesia melawan imperialisme dan fasisme, dan pentingnya sikap revolusioner serta keyakinan kemerdekaan seratus persen: “The Renville Agreement was a setback to the struggle of nations fighting for the independence, but the Indonesian youth rejects it and will fight on.” Konferensi pemuda itu menyerukan sikap pemuda seluruh Asia untuk antikolonialisme dan antiimperialisme, perjuangan bersenjata sebagai bagian dari perjuangan kemerdekaan dan pembebasan nasional. Konferensi Kalkuta menjadi embrio dari Konferensi Afro-Asia pada 1955. Sesudah pulang ke Tanah Air, Fransisca diminta Sukarno untuk berkeliling Indonesia mengabarkan hasil konferensi pemuda di Kalkuta, tentang pentingnya pemuda berada di garis depan dan bangkit melawan segala bentuk kolonialisme untuk pembebasan nasional. Pada 1951, Fransisca ditunjuk menjadi ketua Festival Pemuda Sedunia di Berlin Timur. Festival ini hasil dari konferensi pemuda di Kalkuta dan mempertemukan para aktivis dari Asia, Afrika, dan negara-negara yang masih terjajah untuk menyuarakan perjuangan pembebasan nasional melalui kebudayaan dan seni. Peserta dari Indonesia yakni para seniman Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) seperti pelukis Henk Ngantung, S. Sudjojono, Basuki Resobowo, Hendra Gunawan, Sugiarti Siswadi, dan komposer Subronto K. Atmodjo. Selain menghadiri festival itu, para seniman terlibat dalam pameran seni pembebasan nasional. Usai menghadiri festival di Berlin Timur, Fransisca bersama Djawoto, ketika itu kepala kantor berita Antara, menerbitkan Indonesian National Press Service (INPS) pada 1955. Buletin INPS berisi tentang politik, sosial, dan ekonomi yang diterbitkan Antara dan Fransisca menjadi penulis utama. Buletin INPS ditulis dalam bahasa Inggris dan Belanda, karena buletin ini dipersiapkan untuk Konferensi Asia-Afrika di Bandung pada 1955. Ketika konferensi berlangsung pada 1955, Fransisca ditunjuk menjadi ketua komite perempuan wartawan Asia-Afrika. Selain sebagai wartawan, Fransisca aktif menjadi anggota Komite Perdamaian dalam Organisasi International untuk Setia Kawan Rakyat Asia-Afrika (OISRAA). Sebagai anggota Komite Perdamaian OISRAA, Fransisca ditunjuk mewakili Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) untuk menghadiri sidang Gerakan Wanita Demokratis Sedunia di Jerman Timur pada 1957. Empat tahun kemudian, pada 1961, Fransisca menghadiri Konferensi Perempuan Asia-Afrika di Kairo, Mesir. Tugas Fransisca pada konferensi perempuan di Kairo adalah menyampaikan seruan politik dari Indonesia yaitu: “Peranan Perempuan dalam Perdjoangan Kemerdekaan dan Perdamaian.” Lima pokok penting dalam seruan politik perempuan Indonesia itu yakni pendidikan, masalah sosial, peranan perempuan dalam masyarakat, kesetaraan antara perempuan dengan laki-laki dalam bidang politik dan ekonomi, serta peranan perempuan dalam perjuangan kemerdekaan nasional dan perdamaian. Setelah Konferensi Asia-Afrika berakhir, Fransisca diangkat menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Golongan Karya (DPR-GR) mewakili wartawan dan duduk dalam komisi luar negeri. Salah satu keputusan penting yang dibuat Fransisca sebagai anggota DPR yaitu mengajukan “Resolusi Timor Timur” untuk merdeka dari penjajahan Portugis, dan resolusi itu diterima. Selama lima tahun dari 1960-1965 sebagai anggota komisi luar negeri di DPR, Fransisca melakukan perjalanan ke luar negeri dan secara konsisten terlibat untuk memperjuangkan suara-suara rakyat dari negeri-negeri terjajah. Pada 1964, sebagai anggota komisi luar negeri DPR-GR, Fransisca menjadi penasehat Presiden Sukarno, menghadiri konferensi III Asia-Afrika di Aljazair, tetapi konferensi ini batal diselenggarakan karena terjadi kudeta di Aljazair. Dari Aljazair, Fransisca diutus untuk menghadiri konferensi perdamaian 1965, dan di sinilah titik balik kehidupan Fransisca sebagai ibu dan warga negara Indonesia. Pada 30 September 1965 terjadi pergolakan politik di mana rezim militer di bawah pimpinan Soeharto mengambil alih kekuasaan dari tangan Presiden Sukarno, melalui kudeta berdarah, pembunuhan, penangkapan, dan pelarangan seluruh elemen kiri dan komunis di Indonesia. Sejak tahun itulah, Fransisca tak bisa kembali ke Indonesia. Dari Helsinki, Fransisca bersama anggota delegasi dari Indonesia dalam Organization

Hari Perempuan Internasional

Di kalangan gerakan perempuan internasional, 8 Maret dirayakan sebagai Hari Perempuan Internasional. Penentuannya berawal dari tahun 1908 ketika menjawab tuntutan kaum perempuan, Partai Sosialis Amerika Serikat mengusulkan hari terakhir bulan Februari dijadikan hari demonstrasi untuk persamaan hak politik (hak untuk memilih dalam pemilihan umum) kaum perempuan. Hari Perempuan Amerika ini (28 Februari 1908) mendapat perhatian sangat besar dari kaum feminis dan sosialis seluruh dunia dan mendorong aksi solidaritas yang terorganisasi oleh berbagai kelompok buruh perempuan Amerika Serikat. Di tahun 1910, pada konferensi kedua perempuan sosialis sedunia di kota Kopenhagen, Clara Zetkin, seorang aktifis gerakan perempuan dan tokoh sosialis, menentang sikap separatis dari gerakan perempuan suffragist (menuntut hak pilih dalam pemilihan umum) mengajukan usul untuk menginternasionalkan eksperimen Amerika itu dan menjadikan 8 Maret sebagai Hari Perempuan International, dengan slogan “hak pilih untuk semua orang”. Peristiwa-peristiwa ini terjadi dalam konteks pasang naik gerakan perempuan di seluruh dunia pada awal abad ini (di Indonesia muncul Kartini dengan pemikiran dan aksinya). Saat itu kaum perempuan sudah terorganisasi dan gerakannya meluas di Eropa dan Amerika yang tercermin dari terbentuknya International Women Suffrage Alliance (1904). Awal abad ini marak dengan diorganisasikannya protes, demonstrasi, pemogokan buruh, dan kampanye persamaan hak dan menentang penindasan terhadap buruh perempuan. Bangkitnya perempuan sebgai buruh yang tertindas merupakan buah dari perubahan sosial itu sendiri, berkembangnya modal dimana sesungguhnya buruh merupakan penggerak perkembangan yang sekaligus dihisap olehnya. Usul Clara Zetkin terwujud pada tahun 1911, saat pecahnya perang dunia pertama, 8 Maret dirayakan dengan pawai dan demonstrasi perempuan di berbagai negara Eropa. Dan ketika Revolusi Rusia dimulai, hari perempuan internasional ditandai dengan demonstrasi-demonstrasi massa dan protes menuntut bahan makanan, yang dilancarkan oleh kaum perempuan, laki-laki dan anak-anak. Di Inggris, hari perempuan internasional menjadi peringatan tahunan sesudah perang dunia kedua. Di Amerika, peringatan hari perempuan internasional menjadi peringatan tahunan sejak munculnya Gerakan Pembebasan Perempuan yang lahir bersamaan dengan gerakan hak-hak sipil dan gerakan perdamaian anti perang pada tahun 1960an, yang terus berkembang dan meluas. Setelah tahun 1975, PBB menetapkan sebagai tahun internasional perempuan, yang kemudian pada tahun 1976 hingga 1985 ditetapkan sebagai “Dasa Warsa Perempuan”. Sesungguhnya pada tahun 1977, Majelis Umum PBB menerima resolusi yang menetapkan suatu hari internasional untuk perempuan. PBB mengajak semua negara anggota untuk memproklamasikan suatu hari sebagai Hari PBB untuk Hak Asasi Perempuan dan Hari Perdamaian Dunia, yang penetapan harinya diserahkan pada masing-masing negara. Kebanyakan negara (tidak termasuk Indonesia) menetapkan 8 Maret , yang memang sudah dikenal sebagai Hari Perempuan Internasional. PBB sendiri pada tahun 1978 menetapkan tanggal 8 Maret dalam daftar hari libur resmi. Persoalan Perempuan Kesadaran mengenai ketertindasan kaum perempuan dan sifat struktural dari penindasan tersebut sudah lama muncul di Indonesia. Pada awal abad ini, seiring dengan munculnya kesadaran baru mengenai kolonialisme, muncul seorang pelopor, R.A.Kartini, seorang puteri bupati Jawa yang melalui tulisan-tulisannya menentang keras poligini, kawin paksa, dan penindasan feodal serta kolonial. Ia berusaha menegakkan hak kaum perempuan untuk bersekolah dan dengan mendirikan sekolah untuk anak-anak perempuan. Kemudian muncul banyak perempuan yang dengan membawa serta kesadarannya tentang ketertindasan kaum perempuan, aktif dalam politik pergerakan nasional. Misalnya Munasiah dan Sukaesih, dua aktivis politik yang dalam suatu konggres perempuan di Semarang tahun 1924 menyerukan perlunya kaum perempuan berjuang agar bisa memajukan hak-haknya dan agar tidak disisihkan. Munasiah berkata:” Wanita itu menjadi mataharinya rumah tangga, itu dahulu! Tapi sekarang wanita menjadi alat kapitalis. Padahal jaman Mojopahit wanita sudah berjuang.. Sekarang adanya pelacur itu bukan salahnya wanita, tapi salahnya kapitalisme dan imperialisme.” Setelah pecah pemberontakan nasional pertama menentang kolonialisme 1926-1927, kedua pejuang ini ditangkap pemerintah Hindia Belanda dan dibuang ke Digul, Papua Barat, karena terlibat pemberontakan. Kesadaran baru di kalangan perempuan indonesia akan penindasan kolonialisme dan imperialisme, dengan berbagai bentuknya terus bergerak dan meluas sampai Indonesia merdeka. Pada masa revolusi, berdiri berbegai macam organisasi perempuan, termasuk partai politik khusus perempuan (Partai politik Wanita, didirikan oleh Nyi Sarmidi Mangunsarkoro; S.K.Trimurti menentang pembentukan partai ini dan mengusulkan agar perempuan bergabung dengan partai politik yang ada, tidak perlu membentuk partai sendiri). Kaum perempuan tidak hanya aktif di garis belakang sebagai anggota palang merah atau petugas dapur umum. Mereka juga menjadi anggota satuan-satuan laskar maupun tentara reguler yang aktif bertempur di front (garis depan) melawan tentara penjajah yang hendak kembali menjajah Indonesia. Inilah yang “dikritik” oleh lagu patriotik yang patriarkhis, ” Melati di Tapal Batas”, yang hendak mengerangkeng perempuan dalam tirani domestik. Pada masa revolusi itu pula organisasi-organisasi perempuan seperti PERWARI, Wanita Indonesia, Pemuda Putri Indonesia, Aisyiah, GERWIS (Gerakan Wanita Sedar) dan sebagainya membentuk federasi organisasi perempuan (bukan wadah tunggal perempuan) yang diberi nama KOWANI (Konggres Wanita Indonesia). Meskipun persoalan utama bangsa kita saat itu adalah perjuangan mengusir penjajah, gerakan sosial politik tidak didominasi oleh pandangan nasionalisme sempit yang chauvinistik atau malah xenophobic. Watak internasionalis dilambangkan dalam Mukadimah UUD 1945 : “Kemerdekaan adalah hak segala bangsa…” KOWANI sendiri pada masa itu terlihat sangat sadar mengenai tempat, peran dan tanggungjawabnya sebagai warga dunia. Dalam pernyataan-pernyataannya dikemukakan seruan-seruan untuk ikut menegakkan perdamaian dunia. Sebagian dari organisasi-organisasi perempuan menyadari bahwa penindasan perempuan, dan oleh karena itu perjuangan kaum perempuan, bukan terbatas di Indonesia saja. Di negeri-negeri lain (termasuk negeri-negeri kapitalis industri maju) kaum perempuan mengalami berbagai bentuk penindasan baik yang bersifat kelas, maupun seksual seperti perkosaan, perdagangan perempuan, kekerasan terhadap perempuan. Demikian pula di negeri-negeri Dunia Ketiga. Selain itu mereka semakin menyadari sifat struktural dari penindasan itu sehingga sebagian dari mereka sekaligus menginginkan penghapusan patriarkhi dan pelenyapan neo-kolonialisme dan neo-liberalisme. Pada titik inilah kemudian Hari Perempuan Internasional 8 Maret menjadi penting. Pada tahun 1960, oleh organisasi-organisasi yang menjadi anggota KOWANI diperkenalkan Hari Perempuan Internasional dan Deklarasi Kopenhagen yang keduanya merupakan hasil Konggres Perempuan Internasional 1910 di kota Kopenhagen, Denmark. Deklarasi ini menyerukan: ” Bersatulah kaum perempuan sedunia untuk memperjuangkan persamaan hak perempuan dan anak-anak, untuk pembebasan nasional, dan perdamian”. Pada waktu itu dalam tubuh KOWANI tidak tercapai kesepakatan ketika organisasi anggotanya mengusulkan agar Hari Perempuan Internasional diperingati disini. Meskipun demikian pada tahun itu di beberapa kota berlangsung perayaan Hari Perempuan Internasional. Lintas Negara Pada saat ini terjadi kemunduran perasaan internasionalis.Hari-hari internasional sangat jarang diperingati oleh penduduk Indonesia, apalagi secara resmi. Ini sedikit banyak berkaitan dengan kenyataan telah merosotnya