
The Indonesian Women's Archives and History Space (RUAS) is a collective space for women's critical thinking, run by historians and activist-scholars. RUAS' work includes archiving that is oriented towards memory, activism practices, women's thoughts and feelings, for justice, social, political and cultural change.
RUAS defines archiving-activism as a social movement which documents movements, thoughts and feelings, as well as presenting women's narratives that are overlooked in Indonesia's mainstream history. We aim to care for and recall women's movements as a way to support social change and bring about justice as well as equality.
Ruang Arsip dan Sejarah Perempuan (RUAS) Indonesia adalah ruang kolektif pemikiran kritis perempuan dari sejarawan dan cendekiawan-aktivis. Pekerjaan RUAS yakni pengarsipan yang berorientasi pada memori, praktik-praktik aktivisme, pemikiran dan perasaan perempuan, untuk keadilan, perubahan sosial, politik, dan budaya.
RUAS mendefinisikan aktivisme pengarsipan sebagai gerakan sosial pendokumentasian pergerakan, pemikiran-perasaan, dan menghadirkan narasi perempuan yang tidak terdokumentasikan dalam sejarah Indonesia. Hal ini bertujuan untuk merawat dan memanggil kembali pergerakan perempuan sebagai pendukung perubahan sosial, keadilan, dan kesetaraan.
Sejarah RUAS
Sejarah merupakan suatu medan pertarungan wacana, di mana ingatan publik dan memori kolektif bangsa menjadi pertaruhannya. Setiap penulisan sejarah selalu mengandung sudut pandang dan tidak dapat lepas dari politik pengetahuan. Dalam arena politik pengetahuan, Kolonialisme-Patriarki-Kapitalisme (K-P-K) telah melanggengkan kekuasaannya dengan menentukan bagaimana arsip dibuat dan diakses, serta bagaimana konstruksi sejarah ditulis dan diteladani. Dengan kata lain, penulisan sejarah versi kekuasaan tidak netral dari bias rasial, gender, dan kelas.
Sejak lengsernya kekuasaan diktatorian Orde Baru pada 1998, gerakan sejarah arus bawah semakin giat menempuh kerja-kerja pembongkaran berbagai manipulasi sejarah yang dibakukan dan dibekukan dalam buku-buku pelajaran sejarah, acara televisi, monumen, dan museum nasional. Gerakan sejarah perempuan turut mengambil andil dalam pengungkapan kebohongan rezim militer yang telah mendemonisasi dan mendepolitisasi sosok perempuan kritis serta terus merawat penumbuhan narasi-narasi perempuan yang dilupakan sejarah. Tidak lupa, gerakan sejarah perempuan terus menyorongkan kritik sehat pada bias patriarkis yang juga masih pekat dalam gerakan-gerakan progresif.
Sampai hari ini, perkembangan dalam produksi intelektual sejarah dan sejarawan perempuan terus bergeliat di tengah kenyataan masih banyaknya seminar-seminar sejarah yang didominasi panelis laki-laki. Jumlah panelis perempuan Seminar Sejarah Nasional 2018 &19, misalnya, masih jauh dari setara dengan jumlah panelis laki-laki; realitas ini hanya cerminan suatu segmen dalam relasi gender yang secara umum belum adil dan setara di masyarakat. Tetapi di luar persoalan angka dan advokasi kuota, sensibilitas kritis yang berperspektif adil gender merupakan agenda praksis intelektual yang juga mendesak.
Penulisan sejarah yang berangkat dari perspektif perempuan adalah intervensi feminis dalam medan pertarungan wacana sejarah. Jika narasi sejarah dibayangkan sebagai mata-rantai antar-generasi, maka penulisan sejarah perempuan dengan perspektif gender kritis punya fungsi krusial menghubungkan bangunan persoalan masa lalu dengan imajinasi kita atas masa depan bersama. Keberpihakan pada pengetahuan dan pengalaman perempuan akan membedah apa yang diperhitungkan sebagai historical significance (narasi historis yang penting) dalam sejarah arus utama, dan membongkar bias gender dalam politik pengarsipan serta metode penulisan sejarah. Pada saat yang sama, sejarah perempuan berperspektif gender kritis tak pernah sekadar berbasis identitas yang simplistik; ia perlu berprinsip kesetaraan dan keadilan sosial untuk semua, sehingga selalu akan kait-mengait dengan historisitas ekonomi-politik, agama, dan lingkungan hidup yang lebih luas.
Dari latar masalah dan kesadaran ini, RUAS (Ruang Arsip dan Sejarah) Perempuan Indonesia didirikan untuk memajukan gerakan sejarah perempuan dalam gelanggang tafsir sejarah yang diupayakan adil sekaligus plural, kritis terhadap kekuasaan K-P-K, dan setia pada pencarian kebenaran. Titik berangkat RUAS adalah pelembagaan jaringan peneliti, pekerja seni, dan aktivis yang berkomitmen pada kerja-kerja produksi dan distribusi narasi sejarah perempuan berperspektif feminis kritis. Posisi lembaganya berakar pada dinamika lokal namun sanggup berdialog dalam arena global. Dengan pelembagaan ini, diharapkan akan tercipta suatu ruang pertemuan praktik dan gagasan yang aman dari bentuk-bentuk diskriminasi berbasis gender, yang masih umum terjadi di tataran institusional maupun non-institusional.
History is a battlefield of discourse, where public memory and the collective memory of the nation are at stake. Every historical writing always contains a point of view and cannot be separated from political knowledge. In the arena of political knowledge, Colonialism-Patriarchy-Capitalism (C-P-C) has perpetuated its power by determining how archives are created and accessed, and how historical constructions are written and emulated. In other words, the writing of history according to power is not neutral from racial, gender, and class bias.
Since the fall of the New Order dictatorship in 1998, the grassroots history movement has been increasingly active in carrying out the work of dismantling various historical manipulations that have been standardized and frozen in history textbooks, television shows, monuments, and national museums. The women’s history movement also took part in capturing the image of the military regime that had demonized and depoliticized the figure of critical women and continued to foster the growth of narratives of women who had forgotten history. Not to forget, the women’s history movement continues to push healthy criticism of patriarchal bias which is still strong in progressive movements.
Until today, developments in the intellectual production of history and women’s enlightenment continue to roll amidst the fact that many history seminars are still dominated by male panelists. The number of female panelists at the 2018 & 19 National History Seminar, for example, is still far from equal to the number of male panelists; In reality, this is only a reflection of a segment in gender relations that are generally not fair and equal in society. But beyond the issue of numbers and quota advocacy, critical sensibility with a gender-just perspective is an intellectual practical agenda that is also urgent.
Writing history from a women’s perspective is a feminist intervention in the battleground of historical discourse. If historical narratives are imagined as intergenerational links, then writing women’s history with a critical gender perspective has a crucial function in connecting the construction of past problems with our imagination of a shared future. Siding with women’s knowledge and experience will dissect what is considered historical significance (important historical narratives) in mainstream history, and reveal gender bias in political archiving and methods of writing history. At the same time, women’s history with a critical gender perspective is never simply based on simplistic identity; it needs to be based on the principle of equality and social justice for all, so that it will always be linked to the broader historicity of political-economic, religious, and environmental issues.
From this background of problems and awareness, RUAS (Ruang Arsip dan Sejarah) Perempuan Indonesia was established to advance the women’s history movement in the arena of historical interpretation that is attempted to be fair and plural, critical of the power of C-P-C, and loyal to the search for truth. The starting point of RUAS is the institutionalization of a network of researchers, artists, and activists who are committed to the work of producing and distributing women’s historical narratives from a critical feminist perspective. The position of the institution is regulated by local dynamics but is able to dialogue in the global arena. With this institutionalization, it is hoped that a safe meeting space for practices and ideas will be created from forms of gender-based discrimination, which are still common at both institutional and non-institutional levels.
Apa yang Kami Lakukan


