
Pada 1995, ketika saya berangkat untuk mengikuti lokakarya di Belanda, ada pesan penting dari ayahku: ”Di Amsterdam, kamu harus menemui Tante Fransisca Fanggidaej, Om Cipto Munandar, dan Hersri Setiawan.” Saya hanya mengenal Hersri, sedangkan nama Fransisca dan Cipto belum pernah saya dengar sebelumnya. Ayahku hanya mengatakan bahwa Fransisca tokoh penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Sebagai lulusan jurusan sejarah dari Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, saya belum pernah mendengar dan membaca nama Fransisca Fanggidaej dalam buku sejarah Indonesia.
Menjelang musim gugur 1995, diantar Hersri, saya berkunjung pertama kali ke apartemen Fransisca, di sebuah kompleks apartemen yang diperuntukkan untuk para migran yang mencari suaka politik (asylum) di Belanda. Fransisca tinggal seorang diri sejak 1985, di lantai 6, di salah satu blok apartemen di daerah Bijlmer. Saya ingat ketika Tante Sisca –kemudian saya memanggilnya, menyambut kami dengan penuh kehangatan. Wajahnya yang cerah di usia 70 tahun saat itu, berambut pendek putih, dan suaranya lantang. “Oh, aku kenal baik ayahmu. Kami sering berdebat tentang perjuangan dan politik Indonesia,” itulah kalimat perkenalan saat ia menyambut saya sambil memeluk erat, kemudian disusul dengan sapaannya, “Ayo cerita, bagaimana situasi dan kondisi politik Indonesia.”
Mengapa Fransisca Fanggidaej penting dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia, khususnya gerakan perempuan?
Pada 1947, Fransisca menghadiri Kongres International Union of Students (IUS) dan World Federation of Democratic Youths (WFDY), yakni gabungan pemuda demokratik sedunia di Praha, Cekoslowakia. Sebelum ke Praha, Fransisca bersama Suripno, tokoh pemuda dan mahasiswa yang aktif di Perhimpunan Indonesia di Belanda, akan melakukan propaganda perang kemerdekaan dan kampanye aksi setiakawan melawan Belanda, fasisme Jepang dan Sekutu, dengan semboyan: Stop The War in Indonesia. Kongres IUS menyerukan solidaritas sesama rakyat yang berjuang untuk kemerdekaan menemukan fondasinya.
Sepulang dari lawatan ke Eropa, Fransisca mendapat tugas dari Badan Kongres Pemuda Republik Indonesia untuk menggalang solidaritas internasional mencari bantuan obat-obatan dan dana perjuangan untuk melawan kolonialisme. Ia berkeliling ke tiga negara Eropa Timur yaitu Yugoslavia, Cekoslowakia, dan Bulgaria, kemudian ke Inggris. Di London, Fransisca berhasil menggalang solidaritas mahasiswa Inggris yang tergabung dalam British National Union of Student untuk melakukan demonstrasi mendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia, dan mengutuk agresi militer Belanda yang berusaha menjajah kembali Indonesia. Dari Inggris, Fransisca lalu ditunjuk untuk mempersiapkan Konferensi Pemuda Asia Tenggara (Southeast Asian Youth’s and Student Conference) yang akan dilangsungkan di Kalkuta, India. Kalkuta dipilih sebagai tempat konferensi dunia melawan kolonialisme karena negara-negara di Asia Tenggara masih bergolak dalam perjuangan bersenjata. Konferensi bertema menggalang solidaritas untuk perjuangan kemerdekaan bangsa-bangsa terjajah. Semangat solidaritas seluruh peserta menjadikan konferensi ini mendapat dukungan dari seluruh dunia. Indonesia mendapat peranan penting, karena Indonesia negara pertama sesudah Perang Dunia II yang berhasil memerdekaan diri dari belenggu penjajahan. Sebagai ketua delegasi Indonesia dan bertanggung jawab untuk menyampaikan pidato saat pembukaan konferensi, isi pidato Fransisca menggelorakan semangat revolusi pemuda Indonesia melawan imperialisme dan fasisme, dan pentingnya sikap revolusioner serta keyakinan kemerdekaan seratus persen: “The Renville Agreement was a setback to the struggle of nations fighting for the independence, but the Indonesian youth rejects it and will fight on.”
Konferensi pemuda itu menyerukan sikap pemuda seluruh Asia untuk antikolonialisme dan antiimperialisme, perjuangan bersenjata sebagai bagian dari perjuangan kemerdekaan dan pembebasan nasional. Konferensi Kalkuta menjadi embrio dari Konferensi Afro-Asia pada 1955. Sesudah pulang ke Tanah Air, Fransisca diminta Sukarno untuk berkeliling Indonesia mengabarkan hasil konferensi pemuda di Kalkuta, tentang pentingnya pemuda berada di garis depan dan bangkit melawan segala bentuk kolonialisme untuk pembebasan nasional.
Pada 1951, Fransisca ditunjuk menjadi ketua Festival Pemuda Sedunia di Berlin Timur. Festival ini hasil dari konferensi pemuda di Kalkuta dan mempertemukan para aktivis dari Asia, Afrika, dan negara-negara yang masih terjajah untuk menyuarakan perjuangan pembebasan nasional melalui kebudayaan dan seni. Peserta dari Indonesia yakni para seniman Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) seperti pelukis Henk Ngantung, S. Sudjojono, Basuki Resobowo, Hendra Gunawan, Sugiarti Siswadi, dan komposer Subronto K. Atmodjo. Selain menghadiri festival itu, para seniman terlibat dalam pameran seni pembebasan nasional.
Usai menghadiri festival di Berlin Timur, Fransisca bersama Djawoto, ketika itu kepala kantor berita Antara, menerbitkan Indonesian National Press Service (INPS) pada 1955. Buletin INPS berisi tentang politik, sosial, dan ekonomi yang diterbitkan Antara dan Fransisca menjadi penulis utama. Buletin INPS ditulis dalam bahasa Inggris dan Belanda, karena buletin ini dipersiapkan untuk Konferensi Asia-Afrika di Bandung pada 1955. Ketika konferensi berlangsung pada 1955, Fransisca ditunjuk menjadi ketua komite perempuan wartawan Asia-Afrika. Selain sebagai wartawan, Fransisca aktif menjadi anggota Komite Perdamaian dalam Organisasi International untuk Setia Kawan Rakyat Asia-Afrika (OISRAA).
Sebagai anggota Komite Perdamaian OISRAA, Fransisca ditunjuk mewakili Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) untuk menghadiri sidang Gerakan Wanita Demokratis Sedunia di Jerman Timur pada 1957. Empat tahun kemudian, pada 1961, Fransisca menghadiri Konferensi Perempuan Asia-Afrika di Kairo, Mesir. Tugas Fransisca pada konferensi perempuan di Kairo adalah menyampaikan seruan politik dari Indonesia yaitu: “Peranan Perempuan dalam Perdjoangan Kemerdekaan dan Perdamaian.” Lima pokok penting dalam seruan politik perempuan Indonesia itu yakni pendidikan, masalah sosial, peranan perempuan dalam masyarakat, kesetaraan antara perempuan dengan laki-laki dalam bidang politik dan ekonomi, serta peranan perempuan dalam perjuangan kemerdekaan nasional dan perdamaian.
Setelah Konferensi Asia-Afrika berakhir, Fransisca diangkat menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Golongan Karya (DPR-GR) mewakili wartawan dan duduk dalam komisi luar negeri. Salah satu keputusan penting yang dibuat Fransisca sebagai anggota DPR yaitu mengajukan “Resolusi Timor Timur” untuk merdeka dari penjajahan Portugis, dan resolusi itu diterima. Selama lima tahun dari 1960-1965 sebagai anggota komisi luar negeri di DPR, Fransisca melakukan perjalanan ke luar negeri dan secara konsisten terlibat untuk memperjuangkan suara-suara rakyat dari negeri-negeri terjajah.
Pada 1964, sebagai anggota komisi luar negeri DPR-GR, Fransisca menjadi penasehat Presiden Sukarno, menghadiri konferensi III Asia-Afrika di Aljazair, tetapi konferensi ini batal diselenggarakan karena terjadi kudeta di Aljazair. Dari Aljazair, Fransisca diutus untuk menghadiri konferensi perdamaian 1965, dan di sinilah titik balik kehidupan Fransisca sebagai ibu dan warga negara Indonesia. Pada 30 September 1965 terjadi pergolakan politik di mana rezim militer di bawah pimpinan Soeharto mengambil alih kekuasaan dari tangan Presiden Sukarno, melalui kudeta berdarah, pembunuhan, penangkapan, dan pelarangan seluruh elemen kiri dan komunis di Indonesia. Sejak tahun itulah, Fransisca tak bisa kembali ke Indonesia. Dari Helsinki, Fransisca bersama anggota delegasi dari Indonesia dalam Organization of Solidarity with People of Asia, Africa, Latin America-OSPAAAL (Konferensi Solidaritas Rakyat Asia, Afrika dan Amerika Latin) menuju ke Havana, Cuba, pada Januari 1966, untuk bertemu Fidel Castro dan mencari dukungan dari negara-negara Amerika Latin anggota OSPAAAL.
Setelah Soeharto dengan dukungan militer mengambil alih kekuasaan dari Presiden Sukarno, dikeluarkan sebuah dekrit pada 7 Mei 1966 yang meminta semua warga negara Indonesia yang tinggal di luar negeri untuk kembali ke Indonesia dan menandatangani surat pernyataan kesetiaan kepada pemerintah Orde Baru. Mereka diwajibkan tunduk, mengakui, dan menandatangani pernyataan bahwa gerakan 30 September 1965 didalangi oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Sukarno sebagai Presiden terlibat di dalamnya. Menanggapi keputusan Presiden Soeharto tersebut, sebagian besar warga negara Indonesia di luar negeri menolak pemerintah Orde Baru yang mengeluarkan keputusan pencabutan paspor dan berakibat hilangnya status kewarganegaraan mereka. Dengan demikian, mereka tidak dapat kembali ke tanah air dan menjadi stateless, tanpa kewarganegaraan.
Setelah kehilangan kewarganegaraannya, Fransisca memutuskan menuju Tiongkok karena pemerintah Republik Rakyat Tiongkok (RRT) membuka pintu untuk menampung para warga negara Indonesia tanpa kewarganegaraan yang ingin masuk dan tinggal di RRT. Mereka diterima sebagai tamu istimewa Partai Komunis Tiongkok (PKT) dan diberi tempat di Provinsi Nanchang. (Fanggidaej, 2006) Maka, sejak 1966, sebagian besar orang Indonesia yang kehilangan kewarganegaraannya, terutama yang berafiliasi dengan PKI, yang tersebar di Eropa Timur dan Vietnam, berpindah ke Nanchang, Tiongkok. Dalam asylum di sebuah komune di Nanchang, Fransisca terserang tuberculosis. Selama sakit, Fransisca mulai menulis kritik tentang cara kerja di komune dan eksploitasi atas nama partai, yang awalnya Francisca mengagumi PKT. Ketika revolusi kebudayaan mulai memanas pada 1970, ia menulis kritik terhadap revolusi kebudayaan dan partai yang sangat berkuasa. Kritik Fransisca yang ditulis dalam bahasa Mandarin dilarang beredar bahkan disita penguasa Nanchang. Akibatnya, Fransisca merasa tidak aman dan gelisah tinggal di Nanchang. Bersama beberapa kawan Indonesia, Fransisca mulai mencari suaka di beberapa negara di Eropa. Fransisca memilih Belanda sebagai negara tujuan suaka politik dan pilihannya ini sangat praktis bagi Fransisca. Ia fasih berbahasa Belanda, juga karena seorang saudara perempuannya tinggal di Belanda.
Setibanya di Belanda, Fransisca langsung menjadi anggota Komite Indonesia, yang didirikan Profesor Dr. W.F. Wertheim, seorang ahli Indonesia dan mengajar sosiologi politik di Universitas Amsterdam. Komite Indonesia didirikan setelah peristiwa 30 September 1965 untuk membantu melakukan kampanye dan menyiarkan tentang kudeta militer di bawah pimpinan Jenderal Soeharto, yang diikuti dengan pembunuhan, penangkapan, dan kekerasan terhadap anggota PKI dan aliansinya seperti Pemuda Rakjat, Lekra, dan Gerwani. Di Komite Indonesia, Fransisca menjadi penulis dan penerjemah aktif, berkeliling menyiarkan kekejaman militer terhadap anggota PKI. Selain aktif di Komite Indonesia, Fransisca bersama beberapa eksil Indonesia mendirikan Persaudaraan Indonesia, dan juga Dian organisasi perempuan yang menghimpun dan mengorganisir para perempuan eksil di Belanda. Dian menjadi wadah perempuan eksil Indonesia untuk menyuarakan soal-soal sosial dan politik, serta diskriminasi yang dialami kaum perempuan. Dian juga menyebarkan ide tentang kebudayaan dan seni dari para eksil, karena banyak eksil adalah penulis, seniman, dan pelukis. Para eksil ini menganggap penting untuk membentuk kolektif kebudayaan dan seni yang kemudian mereka namakan Yayasan Seni dan Budaya Indonesia. Di yayasan ini, Fransisca bersama Hersri Setiawan, Agam Wispi, Basuki Resobowo, Kusni Sulang, Umar Said dan beberapa penulis lain aktif menulis tentang kehidupan sosial politik, budaya, dan pemikiran para eksil di Eropa.
Pergerakan Perempuan Internasinalisme
Pada 1947, konferensi perempuan antiimperialis diusulkan Women International Democratic Federation (WIDF) untuk gerakan perempuan Asia, bersama dengan gerakan perempuan dari Afrika Utara dan Barat. Konferensi bertujuan membuka babak baru kepemimpinan perempuan dalam gerakan internasionalis di Asia dan Afrika. Awalnya konferensi akan diselenggarakan di Kalkuta, tetapi kemudian diadakan di Beijing pada 1949. Konferensi perempuan pertama internasionalis ini membicarakan pergeseran ideologis, solidaritas, dan hak asasi perempuan pasca kemerdekaan, maupun yang masih terjajah di Asia dan Afrika.
Konferensi tersebut juga menjelaskan perubahan penting gerakan perempuan internasionalis ketika perempuan aktivis dari negara-negara terjajah mengonsolidasikan basis ideologi dan mengembangkan solidaritas transnasional selatan-selatan sebagai agenda Dunia Ketiga. Kecuali itu, konferensi memberikan visibilitas agensi gerakan perempuan di Asia dan Afrika yang menolak dianggap terbelakang dan pasif dari agenda feminis Barat (Laura Bier, 2011, hal 162).
Ada tiga ciri gerakan perempuan di Asia dan Afrika. Pertama, gerakan perempuan untuk reformasi sosial yang mengangkat persoalan pendidikan, perawatan kesehatan, kesejahteraan sosial, melawan praktik budaya dan agama yang mencelakakan perempuan. Gerakan ini banyak terjadi di wilayah Asia Selatan dan Afrika Utara (Sarkar dan Sarkar, 2007). Alur kedua, gerakan perempuan nasionalis yang berjuang untuk persamaan hak bagi perempuan di negara-negara yang baru merdeka dan partisipasi perempuan dalam kehidupan publik (Jayawardena, 1986; Badran, 1995). Alur ketiga, tumbuhnya gerakan perempuan progresif kiri yang berbasis massa yang berjuang untuk restrukturisasi ekonomi, sosial, politik, dan praktik budaya yang mendiskriminasikan perempuan. Gerakan perempuan progresif kiri ini muncul khususnya di Asia, seperti di Vietnam, Tiongkok, Kamboja, dan Indonesia. Gerakan ini sering tumpang tindih dengan gerakan perempuan nasionalis dalam strategi gerakannya yang menggunakan pendekatan antikekerasan. Perbedaan antara gerakan perempuan kiri berbasis massa dengan gerakan perempuan nasionalis adalah tuntutan yang secara terus-menerus pada negara tentang perubahan substantif hubungan produksi dan reproduksi sosial dan ekonomi yang menggunakan pendekatan Marxisme, khususnya masalah tenaga kerja, kepemilikan tanah, dan hak politik.
Setelah kemerdekaan, gerakan perempuan kiri tetap melanjutkan perjuangan revolusioner melawan struktur kekuasaan pemerintah yang patriarkhis dan feodal. Contohnya, Gerwani mulai melakukan pengorganisasian perempuan di pedesaan dan di daerah miskin perkotaan, sebagai basis massa gerakan perempuan dari petani, kelas pekerja, dan perempuan kelas menengah.
Internasionalisme Perempuan
Sejarah radikalisasi gerakan perempuan dimulai dari partisipasi mereka dalam berbagai gerakan, khususnya gerakan antikolonial, antifasis, antifeodal, dan reformasi sosial lintas kelas. Pengalaman umum politisasi perempuan terjajah ini membantu mereka untuk bertemu satu sama lain dalam jaringan internasionalisme dan antiimperialis yang muncul setelah berakhirnya Perang Dunia II. Misalnya, perdebatan para feminis dari Asia dan Eropa dalam pertemuan WIDF tentang hubungan gender dengan perang, imperialisme, dan politik kolonialisme. Perdebatan itu menghasilkan solidaritas dan radikalisasi sebagai strategi gerakan. Ada empat prinsip umum dalam gerakan perempuan kiri internasionalis yaitu antiimperialisme, antikolonial, pengorganisasian berbasis massa, dan antikapitalisme.
Di Aljazair, Indonesia, Tiongkok, dan India, gerakan perempuan membangun keanggotaan dari perempuan petani di perdesaan, khususnya mereka yang tidak memiliki tanah. Di India, basis massa perempuan kiri ada di Tamil Nadu, Andhra Pradesh, Punjab, Kerala, dan Benggala Barat yang jumlahnya ribuan. Kampanye tentang ketidakadilan endemik perempuan akibat dari sistem kolonial dan kapitalisme, khususnya tentang upah yang tidak setara, sistem kesehatan yang tidak memadai, kelangkaan pangan, sistem rentenir/riba, perdagangan perempuan dan anak perempuan, praktik kasta, dan perbudakan adalah isu terbesar dari perempuan di Asia dan Afrika. Maka, perjuangan kemerdekaan tidak sekadar merdeka dari penjajahan, tetapi kedaulatan tubuh perempuan. Konferensi perempuan antiimperialis dan Pan-Asia pertama di Beijing pada 1949 adalah akar dari gerakan feminis konteks Asia dan mendorong kemunculan gerakan Pan-Asia dan gerakan Afro-Asia untuk kerjasama regional antikolonial dan internasionalisme.
Pada 1945, WIDF adalah satu-satunya organisasi perempuan transnasional yang secara tegas mengutuk kolonialisme. Dokumen pendiriannya menyatakan bahwa kongres menyerukan kepada semua organisasi perempuan demokratis dari semua negara membantu perempuan dari negara-negara terjajah untuk perjuangan kemerdekaan, hak-hak ekonomi dan politik. Seruan WIDF melawan kolonialisme memperoleh kekuatan dari para anggotanya.
Antara 1945 dan 1948, kaum perempuan dari Asia dan Afrika, khususnya Afrika Utara, mengintervensi WIDF untuk perjuangan melawan imperialisme dan antifasisme. Mereka menggambarkan bahaya fasisme sebagai ancaman terbesar bagi perdamaian dan keamanan dunia. Mereka mendesak WIDF melakukan koordinasi solidaritas perempuan di seluruh dunia melawan fasisme dan memastikan perjuangan demokrasi di semua negara.
Debat terjadi dalam kongres tentang cara perlawanan terhadap fasisme berdasarkan pengalaman perempuan di Asia dan Afrika, yang fokus pada perang terhadap kolonialisme dengan penggunaan kekerasan dan kekuatan militer yang fasis untuk membunuh gerakan rakyat dalam pembebasan nasional dan kemerdekaan. Debat juga muncul tentang kedaulatan ekonomi dan politik dari rakyat terjajah dan yang baru merdeka. Banyak negara yang baru merdeka diambil alih kekuatan politiknya oleh sistem imperialisme yang menguntungkan elit penguasa dan kaum feodal dengan mengorbankan kaum perempuan miskin di perdesaan dan perkotaan. Kondisi buruk kaum perempuan dan anak-anak di negara-negara bekas jajahan dan terjajah menjadi fokus intervensi gerakan perempuan yang berjuang untuk mengakhiri kolonialisme dan neoimperialisme di tahun-tahun awal pasca perang. Desakan keras dari gerakan perempuan di Asia-Afrika mendorong WIDF merumuskan ulang keterkaitan antara imperialisme, rasisme, dan fasisme.
Laporan tentang situasi perempuan dan anak-anak di bekas negara jajahan dan masih terjajah mendesak WIDF untuk membentuk komite pencari fakta di negara-negara Asia Tenggara. Komite dibentuk untuk mengetahui kondisi perempuan di bawah pemerintahan kolonial Belanda, Perancis, dan Inggris. Anggota komite mengunjungi Vietnam, Indonesia, India, Malaya, dan Burma antara Februari dan April 1948. Hasil misi WIDF yakni mengeluarkan resolusi berjudul “Mendukung Gerakan Perempuan Demokratis di Negara-negara Asia dan Afrika.” Resolusi ini menegaskan perjuangan perempuan melawan imperialisme dan kolonialisme untuk kemerdekaan nasional yang demokratis dan adil.
Pada 1950-1960, Gita Mukherjee, seorang pemimpin di WIDF melakukan perjalanan melintasi Asia dan Afrika untuk membangun gerakan perempuan Afro-Asia bersama beberapa perempuan salah satunya adalah Fransisca Fanggidaej. Dalam laporan kelompok Mukherjee ketika mengunjungi Indonesia, mereka tertarik dengan metode pengorganisasian kelompok perempuan kiri di Indonesia yang dilakukan Gerwani. Mukherjee menceritakan dengan rici tentang strategi bagaimana keanggotaan Gerwani meningkat dari 80.000 pada 1954 menjadi 662.460 anggota pada 1957. Ia mencatat keberhasilan dalam membangun keanggotaan di kalangan perempuan petani dan perempuan pekerja, meskipun anggota terbesar dari perempuan kelas menengah kota.
Fransisca, dalam laporan Mukherjee itu, menulis tentang perjuangan Gerwani melawan kekerasan dalam keluarga, alkoholisme, perjudian, antiperkawinan anak, hak perempuan atas tanah dan tumbuhnya sekolah-sekolah perempuan. Ia menggambarkan bagaimana Gerwani berusaha memberi perempuan akses yang sama untuk bercerai dan mengakui perempuan ke dalam badan-badan lokal yang mengadili putusan perceraian. Tulisan Fransisca tentang situasi perempuan di Indonesia menjadi perhatian bagi gerakan perempuan dari Afrika dan Asia. Hal ini ditunjukkan pada sebuah surat yang ditulis Mukherjee pada 1958 tentang gerakan perempuan Indonesia.
Solidaritas Internasionalisme Perempuan Asia
“The Women of Asia and Africa” adalah bentuk solidaritas internasional dari perempuan Dunia Ketiga yang masih terjajah dan melahirkan dua prinsip solidaritas yaitu kesamaan dan keterlibatan. Solidaritas kesamaan memperjuangkan hak-hak perempuan mencakup hak politik, sosial, budaya, dan ekonomi. Solidaritas ini memunculkan nilai-nilai dan tujuan bersama yang akan bermanfaat bagi semua perempuan di seluruh dunia. Solidaritas keterlibatan muncul sebagai respons terhadap relasi kuasa yang berbeda, relasi kuasa yang tidak setara dan berakibat pada tindakan penindasan dan diskriminasi.
Sepuluh tahun sesudah konferensi antiimperialis di Tiongkok pada 1958, konferensi ketiga yang disebut Konferensi Wanita Asia-Afrika diadakan di Colombo, Sri Lanka. Lima kelompok perempuan reformasi sosial di Asia menjadi sponsor konferensi tersebut yaitu All Ceylon Women’s Conference, Women’s Welfare League dari Burma, Kongress Wanita Indonesia, All Pakistan Women’s Association, dan All Indian Women’s Commission. Konferensi secara eksplisit mengangkat semangat Bandung dengan fokus pada pendidikan dan kesehatan perempuan untuk kesejahteraan sosial. Konferensi Colombo ini merupakan katalisator untuk kerjasama gerakan perempuan Asia-Afrika dalam persaudaraan internasionalis. Dua tahun kemudian, pada 1961, diselenggarakan Konferensi Gerakan Perempuan Afro-Asia di Kairo. Pada Konferensi di Kairo, gerakan perempuan kiri yang tergabung dalam Gerakan Non-Blok (Non-Aligned Movement) dan Afro-Asian Peoples’ Solidarity Organization mengangkat hak kewarganegaraan dan perlindungan hukum secara penuh untuk perempuan. Konferensi perempuan Afro-Asia ini menyatukan gerakan perempuan nasionalis dan gerakan perempuan progresif kiri yang revolusioner.
Kembali ke pertanyaan awal saya, apa makna Fransisca Fanggidaej dalam sejarah perjuangan dan kebangsaan Indonesia?
Fransisca adalah simbol keyakinan manusia pada pilihan perjuangan dan idealismenya anti kolonialisme, untuk kemerdekaan bangsa yang melampaui batasan etnis, geografi, agama, gender. Pengalaman dan peran dalam pergerakan perempuan global merupakan pengalaman untuk menemukan kembali identitas dan agensi perjuangan yang mendefinisikan ulang arti dan makna perjuangan serta keadilan dari pengalaman seorang perempuan bernama Fransisca Fanggidaej.
Ditulis oleh Ita Fatia Nadia Ketua RUAS (Ruang Arsip dan Sejarah Perempuan) Indonesia
Versi Pendek dimuat di Majalah Tempo, edisi 13 Desember 2024